Semangat Ramdhan Untuk Anak-anak

Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan dinanti-nantikan umat Muslim akan segera dimulai. Setiap keluarga punya cara masing-masing untuk menyambutnya. Memang Ramadhan merupakan bulan yang selalu dianggap paling istimewa dibanding bulan lainnya dalam kalender Islam. Saking istimewanya, sering disebut sebagai bulan penuh ampunan, bulan penuh berkah, bulan penuh pahala, atau bulan dimana pintu Neraka ditutup dan pintu Syurga dibuka selebar-lebarnya. Yang lebih terkenal adalah Bulan Seribu Bulan. Tak heran Ramadhan selalu ditunggu untuk muslim yang ingin menjadikan bulan tersebut sebagai puncak meditasi jasmani dan rohaninya. Terlepas dari sisi kewajibannya.

Spirit Ramadhan bahkan tak hanya terjadi pada orang dewasa ataupun remaja. Anak-anakpun tampak bersemangat menyambutnya. Di pondok- pondok pesantren, di komplek perumahan, sampai kampung-kampung, anak-anak Muslim ramai-ramai berbaris sambil melakukan atraksi seperti memukul
beduk kecil, gendang, bambu, dll. Ada juga yang sambil menyanyikan lagu-lagu pujian, bershalawat dan menyerukan orang untuk berpuasa dan bangun sahur. Di Mesjid-mesjid anak-anak Muslim kadang ikutan membantu kakak-kakaknya mengatur jamaah shalat, membantu membaca iqamat (doa setelah Adzan), atau sekedar bershalawat guna menunggu waktu tarawih pertama mereka di bulan Ramadhan. Spirit yang begitu tinggi membuat nuansa Ramadhan menjadi meriah seperti layaknya menyambut Hari Raya atau perayaan lainnya.

Namun bagaimana sebenarnya kita mengenalkan spirit Ramadhan pada anak-anak tersebut? Khususnya yang masih dibawah umur? Lewat beberapa tetangga dekat, lalu beberapa kenalan  yang mempunyai anak balita, saya banyak mendapat masukan soal ini. Bagaimana peran orangtua membangkitkan spirit anaknya agar bahagia dan semangat dalam menyambut Ramadhan. Dengan demikian diharapkan anak akan terpanggil untuk ikut-ikutan mencoba berpuasa seperti anggota keluarga lainnya yang sudah kena wajib puasa. Caranya ada yang awalnya lewat nasehat-nasehat yang mampu menyentuh hati seorang anak yang masih polos dan jujur dalam mengekspresikan perasaannya. Ada juga dengan cara menceritakan dongeng-dongeng  tentang puasa. Ataupun kisah teman-teman mereka yang mau mencoba berpuasa agar mendapat hadiah sepeda, sampaipada tingkatan yang lebih spirit yaitu, mendapat pahala dari Tuhan.

Tahap ini penting agar anak tertarik dan tidak merasa beban dalam belajar berpuasa. Umumnya anak-anak suka dengan hadiah yang berbentuk materi. Maka sebagai tahap awal, tak salah bila orangtua menjadikan iming-iming hadiah sebagai langkah awal membuat sang anak tertarik. Ini untuk melatih fisik dan psikis anak bahwa betapa pentingnya berpuasa dibulan Ramadhan bagi mereka sebagai penganutnya. Untuk kedepannya tentu saja iming-iming hadiah tidak perlu lagi dilanjutkan. Agar anak belajar untuk ikhlas dan tulus dalam  memahami setiap inti ajaran agama. Iming-iming hadiah hanya pantas dilakukan bagi anak-anak usia TK atau SD.

Lalu, kalau anak sudah terpancing dan tertarik mencoba berpuasa,bagaimana kita menjaga agar spirit itu tetap ada sampai batas waktu berbuka ataupun menurut kesanggupan sang anak?. Tentunya dengan berusaha membuat anak agar tidak fokus pada tekanan fisik yaitu lapar dan haus. Misalnya dengan mengalihkan perhatian mereka ke aktivitas yang menyenangkan, menginspirasi daya imajinya, serta mendidik. Seorang  tetangga membuat anaknya sibuk menggambar yang memang menjadi hobi si anak dalam menuangkan ekspresi seninya. Atau bermain puzzle, belajar membaca Alqur’an serta membekali anak kisah-kisah inspiratif yang memotivasi mereka untuk berkarya sejak dini. Ada lagi yang mengajak anaknya membantu membuat penganan untuk berbuka. Hal ini mungkin  lebih riskan, karena bisa jadi anak malah timbul hasratnya untuk mencicipi dan akhirnya berbuka sebelum waktu yang telah disepakati.

Apa itu waktu yang telah disepakati? Tak lain adalah negosiasi kasih sayang antara anak dengan orangtuanya yang sedang berusaha mengenalkan spirit berpuasa pada sang buah hati. Anak kecil yang masih dibawah umur dan tidak diwajibkan berpuasa, bisa kita ajarkan untuk mencoba berpuasa sesuai kemampuannya. Misal dalam jangka waktu sejam, dua jam, tiga jam, sampai setengah hari saja. Dan hal ini sebelumnya haruslah dibicarakan pelan-pelan dan dengan kasih sayang agar anak tidak merasa dipaksa apalagi ditekan untuk menjalani perintah agama yang belum tentu dia mengerti maknawinya secara dalam. Dunia anak adalah belajar dan bermain. Belajar mengenal sesuatu yang baru itu penting, namun dengan cara yang tidak serius, alias seperti kita mengajaknya bermain sesuatu yang menyenangkan dan memicu tantangan tersendiri bagi diri si anak. Dengan cara yang penuh kasih, gembira dan tidak menakut-nakuti, diharapkan anak akan dengan senang hati melakukannya.

Saya suka sedih bila melihat seorang anak kecil menangis minta makan atau minum, namun orangtuanya justru memarahinya dan menasehatinya panjang lebar tentang pentingnya belajar berpuasa. Agar masuk Syurga, tidak masuk Neraka.

Bagaimana daya fikir seorang anak akan mampu menggapai soal makna Surga dan Neraka dengan aktivitas yang baru dia kenal? Rasanya kita belum apa-apa sudah menakut-nakutinya terlebih dahulu. Nanti tidak disayang Tuhan, lho nak. Nanti akan masuk neraka orang yang tidak mau berpuasa. Nanti tidak dapat pahala, tidak naik kelas dsbnya. Adalah tidak bijak membuat anak berfikir secara dini tentang konsep Neraka dan Syurga.

Lebih penting mengajar mereka dengan belajar lebih banyak tentang budi pekerti, makna kebersamaan, makna toleransi, dan makna beribadah lewat hati. Dan tidak sekedar membombardir dengan teori-teori lewat logika mereka yang belum sampai.

Mengasah logika memang penting, tapi bisa dilakukan bila usia anak sudah cukup matang untuk memahami konsepsi apapun yang berhubungan dengan agama atau ilmu baru lainnya.. Termasuk tentunya dalam menjalani ibadah Ramadhan yang juga termasuk salah satu ibadah yang maha penting bila dilihat dari sisi logikanya. Tapi kalau kita menjalaninya tanpa jiwa, maka ibadah Ramadhan hanya akan berakhir dengan  selesainya salah satu kewajiban  yang harus dijalani. Setelah itu apa? Bagaimana? Akankah berlanjut ke hari-hari baru pasca Ramadhan? Atau kita mulai lagi dengan toksin-toksin baru yang menurut logika kita, ah..nantikan bisa dibersihin lagi di Ramdhan berikutnya. Ya, kalau usia kita masih mampu menjangkau Ramadhan berikutnya. Kalau tanpa kita sadari sekarang merupakan Ramadhan terakhir kita, bagaimana? Kita tak punya kesempatan lagi menjalani ibadah dengan spirit jiwa. Itulah mengapa kita sebaiknya tidak menjadikan contoh diri sebagai contoh yang baik untuk meneruskan tradisi berpuasa kita pada anak-anak. Karena cara kita berpuasa atau memaknai Ramdhan, belum tentu benar. Dan anak-anak hanya akan menjadi korban tradisi oleh sesepuh-sesepuhnya yang hanya sebatas  memenuhi kewajiban, tanpa memaknai sisi spiritualnya secara lebih mendalam.

Kita bisa mengajari anak-anak itu bahwa berpuasa tidak hanya suatu kewajiban kalau mereka sudah dewasa kelak. Tapi juga mengajarkan bahwa berpuasa tidak hanya sebatas tidak makan, tidak minum, tidak boleh jajan, tidak boleh ngambek, tidak boleh mengganggu adik, tidak boleh nakali kakak, dsbnya. Tapi juga mengajarkan bagaimana berdoa agar puasa kita menjadi berkah, agar tambah rajin belajar, tambah baik dengan teman, tambah mengenal Tuhan. Dan yang lebih penting adalah mengajarkan anak untuk lebih peka pada situasi dirinya saat sedang merasa lapar, tapi tidak boleh makan, atau tidak ada makanan. Apa yang sedang dirasakannya? Sedihkah? Perihkah perutnya? Lemaskah? Dari situ kita bisa memberi pengertian, begitulah kalau orang yang sedang kelaparan. Dan ada banyak teman-teman seusianya yang merasakan hal
tersebut sepanjang hari, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.

Tentu saja anak usia TK belum mampu menyerap maksud kita. Tapi dengan demikian setidaknya kita bisa mengajarkannya untuk tidak boleh pelit, harus mau berbagi pada teman yang kesusahan, atau mau memberi sedekah pada pengemis yang suka mampir kerumah. Agar pengemis yang tidak punya uang buat makan atau jajan itu, bisa makan dari hasil sedekah si anak.

Jangan menganggap remeh sensivitas seorang anak. Saya sangat ingat, bagaimana saya menangis karena melihat seorang anak tukang sampah makan nasi tanpa lauk di ujung jalan dekat rumah saya. Saya ingat, bagimana dia dengan polosnya datang kerumah minta minum karena uangnya habis untuk beli nasi saja. Saya saat itu sunggguh tidak memahami kenapa uangnya kok dihabiskan untuk beli nasi, tapi tidak disisakan untuk beli minuman. Tapi logika saya yang belum sampai, tertutup oleh jiwa saya yang tersentuh karena tiba-tiba terbayang bagaimana rasanya kalau saya haus, dan tidak punya uang untuk beli minum. Dan rumah saya jauh. Akhirnya saya meminta ibu saya untuk memberi sebotol minuman, plus uang agar anak tukang sampah itu bisa beli minuman baru. Kan kasihan, ibu kalau dia haus lagi. Demikian yang saya ingat saat itu.

Namun ibu saya tidak mau langsung memberikan uangnya. Beliau malah meminta saya membuka celengan untuk diberikan sebagian pada anak tukang sampah itu. Menurut ibu saya, kalau kita sedang punya uang banyak, tak ada salahnya berbagi dengan uang kita sendiri. Dan tidak mengharapkan orang lain yang selalu berbagi. Dengan gayanya yang lembut, ibu mengajarkan spirit berbagi, bagi sesama teman meski belum dikenal. Maka dengan penuh rasa bangga saya membuka celengan dengan dibantu ibu,lalu memberinya sebanyak mungkin pada sang anak. Ibu juga memberi contoh bahwa dia ingin baik hati seperti saya, putrinya. Beliau membuka dompet dan memberikan uang pada saya agar sekalian diberikan pada anak tukang sampah yang setia menunggu didepan rumah. Tak pernah mampu saya lupakan ekspresi teman kecil saya itu. Kedua telapak tangannya penuh uang dan dengan berbinar mengucapkan terimakasih kepada kami. Tak lupa ibu mengajak saya untuk membekali makanan, kue, dan minuman untuk teman baru itu. Jiwa kanak-kanak saya merasa penting karena telah diminta ibu untuk saling berbagi. Dan saya merasa puas dan bangga karena anak tukang sampah itu pulang dengan membawa banyak oleh-oleh dari kami. Pasti dia tidak akan lapar dan haus lagi, fikir saya saat itu.

Mungkin hal tersebut terlihat remeh. Tapi percayalah, seorang anak akan merasa penting dan bangga bila dilibatkan melakukan sesuatu dengan cara yang bersahabat dan mampu menyentuh kepekaan jiwanya. Karena anak-anak cara berfikirnya polos, langsung melihat kenyataan, dan mudah kita sentuh hatinya bila caranya tepat.

Begitupun dalam menjaga spirit Ramadhan anak-anak di bawah usia wajib puasa. Tak bisa main perintah. Tapi bertahap. Dan tentunya disesuaikan dengan seberapa lama anak mampu menjalani puasanya agar ibadah puasa tidak lagi sebagai sesuatu yang justru membuatnya sengsara karena tidak boleh makan, minum, jajan dan sebagainya. Beri hiburan agar puasa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Pancing jiwa ingin  tahu pada dirinya, bagaimana sih rasanya kalau bisa berpuasa sampai full. Beri pujian bila dia dapat melakukannya. Beri pujian juga bila dia tak tepat waktu melakukannya. Bahwa berusaha dan mencoba merupakan bentuk proses yang jauh lebih baik dan penting , ketimbang terpaku pada hasil akhirnya.

Sumber : kabarsehat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar